Menurut saya, menjadi seorang “Deadliner” itu ngga papa, yang penting tahu diri. Done is better than perfect, selesai itu lebih baik daripada sempurna. Setuju sih, tetapi dengan syarat, pekerjaan harus terselesaikan di bawah kualitas usaha yang maksimal, alias tidak sesimpel sembunyi di balik kata ‘rampung’ padahal hasilnya setara dengan sampah. Di dunia ini, katanya, terdapat dua gaya menyelesaikan pekerjaan: (1) Mepet dan besar, (2) Awal dan kecil. “Mepet dan besar” berarti menyelesaikan semuanya pada menit-menit akhir, sedangkan “Awal dan Kecil” berarti memulai sedini mungkin dan membaginya menjadi potongan puzzle. Tidak perlu berdebat mana yang lebih baik. “Mepet dan besar” kalau terlalu mepet ya cuman dapet kesan asiknya panik-panik ajib, tergopoh-gopoh, terseok-seok, dan terpontang-panting dengan hasil standar. Masih untung kalau beneran standar, bagimana bila jauh di bawah standar? “Awal dan kecil” kalau semangatnya level gorengan, panas di awal sedangkan bagian akhir mlempem ya jadinyanya ngga bagus. Sama bukan? Semoga kalimat ini cukup untuk menjewer diri saya sendiri, hehehe.
Pernah suatu masa, dosen saya memberikan tugas presentasi kasus dengan tenggat waktu dua hari. Pasalnya, sepanjang matahari bersinar kami habiskan untuk beraktivitas di rumah sakit dan sisa energi saya selepas petang hanya cukup menahan mata tetap terbuka selama tiga sampai empat jam saja. Belum lagi urusan “keloyalan” dengan teman maupun orang sekitar yang selalu ditagih seolah-olah merupakan perkara wajib sebagai makhluk sosial.
“Sudah kerjakan saja. Saya sudah sering membuktikan kok, mau waktu singkat atau banyak, hasil akhirnya juga akan sama,” begitu kata dosen saya yang seolah sedang mentransfer energi besar, Tenang aja pasti selesai kok.
Pertanyaannya, apakah pernyataan dosen tersebut memotivasi saya? Jawabannya, Ya. Apakah hasil pekerjaannya baik? Tidak, banyak sekali kurangnya. Satu hal yang keliru di sini adalah mengganggap bahwa pernyataan tersebut berlaku secara universal hingga lupa bahwa sebenarnya terdapat perbedaan kadar otak yang signifikan, beliau dokter spesialis, sedangkan saya hanya mahasiswa koas yang baru turun satu bulan di klinik.
Sebagai orang yang sudah menetapkan pilihan “Deadliner” sebagai jalan ninja, saya kira mengenali diri sendiri lebih dalam itu merupakan perkara esensial. Mari memulai dengan bertanya pada diri sendiri, “Berapa takaran waktu minimal yang mampu saya kerjakan untuk menyelesaikannya?”
Pertama, pahami jam biologis yang sudah melekat kuat pada DNA kita. Menurut Dr. Michael Breus, seorang psikologis klinis – dalam risetnya mengenai jam biologis, didapatkan empat tipe, begini singkatnya: (1) Dolphin: orang dengan insomnia atau tidak cukup tidur, (2) Bear: orang yang cenderung bangun pagi dan tidak bisa tidur larut malam, (3) Lion: produktif di pagi hari dan tenaga mulai berkurang setelah matahari tenggelam, (4) Wolf: susah bangun pagi dan produktif sejak sore hari hingga larut. Beberapa kali, saya (dulu) pernah menghabiskan dua jam menahan ngantuk hanya untuk menulis satu paragraf, itu pun tidak berhasil dan harus mengulang hal yang sama esok hari. Hingga menyadari bahwa jam biologis saya cenderung tipe Lion, maka pekerjaan yang menguras otak sering kali saya tempatkan di pagi hari, termasuk mengalokasikan waktu terbanyak untuk mengejar deadline.
Kedua, saatnya menjawab pertanyaan sebelumnya, “Berapa takaran waktu minimal yang mampu saya kerjakan untuk menyelesaikannya?” Tentukan tingkat kesusahan kerjaan dan perkirakan waktu seminimal mungkin yang bisa kita maksimalkan. Mulai perhatikan hal-hal tidak terduga yang dapat menyita waktu kita, kita sebut saja buffer (penyangga). Sebagai contoh, mati listrik. Durasi mati listrik secara tiba-tiba di kampung saya dalam satu hari adalah satu hingga tiga jam, maka tambahkan tiga jam ini sebagai buffer.
Ketiga, ngga perlu ‘ngga enakan’. Katakan “Tidak” dengan anggun terhadap hal yang dapat mengubah arah sejarah keberlangsungan nyawa deadline kita. Bagi yang berpegang mahzab, “Tidak apa-apa merugikan diri sendiri, yang penting bisa menyenangkan orang lain,” please, sadarlah, baik boleh, tapi cobalah untuk lebih baik hati pada diri sendiri. According to the book I had read, awalnya mereka mungkin tampak kecewa atas penolakan kita, namun setelah itu mereka justru mulai lebih menghormati apa yang kita pilih, bukan berkurang. Menurut saya, berkata “Tidak” dengan santun lebih yoi daripada “Ya” yang samar tanpa komitmen.
Keempat, saatnya eksekusi. Mulai dengan berdo’a. Selagi kita masih percaya dengan adanya Tuhan, ini bagian terpenting, wajib, dan jangan sampai dilewatkan. Kekuatan do’a tuh ya, ngga main-main ampuhnya. Apa aja doanya? Terserah, ungkapkan saja semua yang kita butuh dan harapkan.
Kelima, selama mengerjakan sebisa mungkin tahan godaan, hadir, dan ciptakan suasana yang mendukung. Hal-hal yang berpotensi membuat jadwal yang sudah direncanakan amburadul sebisa mungkin dihindari. Contoh simpelnya, hari ini jadwal tayang pertandingan final tim badminton kesayangan saya. Meskipun jiwa ini rasanya terpanggil, terjingkrak-jingkrak, hingga membara-bara, ingat kembali bahwa yang sedang dikerjakan ini adalah proyek besar, apabila gagal selesai konsekuensinya akan mendapati diri saya yang menyedihkan (misal: nangis darah selama satu minggu). Makna kata ‘hadir’ artinya meluapkan semua tenaga dan pikiran cukup di proyek saat ini saja. Tidak perlu menyesal mengapa tidak dimulai satu jam yang lalu atau bahkan terlalu khawatir bila nantinya tidak selesai tepat waktu. Hadir dan ciptakan suasana yang mendukung. Biasanya, saya menggunakan bantuan aplikasi Focus to Do dari layar ponsel, 25 menit produktif dan 5 menit jeda istirahat. Tujuan lain selain fokus adalah mengurangi peluang refleks ngambil ponsel untuk main-main. Tetap fokus, jangan kemana-mana, biarkan reminder salat saja yang menghentikanmu, jiaakhh masyaallah….
Yang perlu digarisbawahi bukan lagi “Kalau ngga mepet, berarti bukan Deadliner,” melainkan “Kalau ngga kenal dengan kemampuan sendiri, berarti bukan Deadliner.” Sebagaimana bertutur kata, menjadi Deadliner juga ada seninya. Selamat bersenang-senang para Deadliner, nanti kita kerjakan lagi.