Jakal km 14,5

Jalan Kaliurang. Ada banyak kejadian (buanyak banget) yang terlintas kala aku menyusuri jalanan yang terbilang cukup sempit untuk kerumunan kendaraan seramai ini. Meski waktunya berbeda, namun aromanya sama. Mendung selalu bersama hujan. Seandainya sepanjang jalan ini terpasang CCTV, aku bisa saja terus-terusan senyum melihat bagaimana diriku berekspresi.

****

Throwback, 2016!

Pascasalat tarawih, kesepakatan dimulai. “Setengah enam pagi wajib siap, kalau telat nanti nilaiku dikurangin, hehe.” Aku menjanjikan akan memberi mereka masing-masing 10% persen hadiah lomba bila aku berhasil menang di kompetisi ini dengan syarat bersedia menginap dua hari satu malam dan mengatasnamakan diri sebagai supporter Fatwa Arvi Utami. Keesokan harinya selepas salat subuh, aku berhasil menggandeng satu orang lagi untuk bergabung. Lantas, siapa saja mereka? Eka (SMAN 1 Bantul), Iffah (MA Muallimat Yk), dan Mbak Sina (kala itu mahasiswi UAD) yang resmi menjadi supporter sekolahku tercintah, hehehe.

Sedikit sedih dan banyak kecewanya. 08.00 WIB. Panitia belum banyak, pintu masih tertutup, sedangkan kami mati-matian ngebut dingin berbalut kabut tebal dari ujung Lendah menuju Jalan Kaliurang kilometer 14,5. Kautahu apa yang terjadi setelahnya? Sifat-sifat nakal kami muncul secara bertahap lantaran kecewa pada pandangan pertama.

Energi negatif terus menular dan menjalar di antara kami berempat. Kami menjadi seorang yang sangat malas, tidak ada kooperatif, perusak suasana, dan parahnya justru semakin akut seiring berjalannya waktu.

Perlombaan dimulai selepas zuhur. Ya oke lah. Tampil cukup lancar meskipun tetap ada kurangnya.

Sore hampir magrib, kami diarahkan menuju asrama mahasiswa. Hujan sangat lebat, petir sekali dua kali menyambar. Motor lengkap dengan mantelnya masih setia menjadi tumpangan kami menuju asrama mahasiswa. Salah satu temanku, Eka, jatuh sakit. Mungkin karena kebut-kebutan pagi tadi, diperparah AC ruang lomba yang terlalu dingin, dilengkapi dengan guyuran air hujan dingin sore hari. Seketika listrik padam, asrama gelap, sinyal menghilang, aku menyesal ikut, dan benar-benar ingin pulang. Kalau saja ada sinyal, mungkin aku sudah melesatkan pesan singkat elektronik meminta Bapak menjemputku pulang saat itu juga.

Eka masih terbaring lemas di tempat tidur, badannya panas, sesekali merintih. Lagi-lagi aku dihantui rasa bersalah karena mengajaknya kemari. Aku, atau mungkin kami, kecewa dengan suasana. Tidak ada yang bisa disalahkan melainkan menyalahkan diri-sendiri bukan?

Kamu mau apa? Mau nyalahin Tuhan? Yo ra iso.

Tok-tok-tok, “Dik, tadarus yuk di lantai bawah.” Respon kami simpel, mengangguk, perlahan membiarkan Mbaknya pergi menjauh dari kamar kami. Tidak ada yang berubah, tidak ada pergerakan dari kami. Jadwal tadarus harusnya tadi seusai tarawih. Lagi-lagi mereka kurang konsisten dengan waktu, tadi seusai tarawih kami menunggu satu jam di bawah untuk tadarus bersama. Nihil. Sebagai gantinya, kami enggan turun lagi dan diam-diam bersembunyi di dalam kamar. Balas dendam ceritanya, astaghfirullah.

Tok-tok-tok, “Dik, tahajud yuk!” Aku mendengar suara itu berkali-kali, sumpah berkali-kali di kamar kami saja. Dan tidak ada pergerakan. Entah karena malas atau masih kecewa pun aku tak tahu, tidak ada satupun respon dari teman-teman nakalku ini, termasuk aku. Hehehe, maaf ya Mbak.

Tok-tok-tok, “Dik, bangun subuh yuk di masjid besar. Semalam cuman kalian, lho yang ngga kelihatan.” Wadidaw wadidaw, ada yang sudah hafal nih. Oke deh, ini salat wajib, harus bangun, termasuk Eka.

Azan subuh. Kami bergegas menuju masjid besar. Suasan gerimis tipis manja, masih yo’i untuk ditrabas hanya dengan jalan kaki. Masjidnya luas, bersih, dan bagus. Dingin, sejuk, dan wangi. Hmmm, aku mengangguk terkagum. Sholat subuh, ceramah, dan tadarus. Selesai.

Sebagian besar peserta sudah berjalan menuju asrama. Aku tidak tahu, lagi-lagi kami menjadi golongan orang-orang terakhir dan ditakdirkan bertemu hujan deras sebelum melangkah ke luar. Panitia meminta kami untuk stay di masjid saja sembari menunggu panitia lain mengambilkan payung untuk kami berempat. Eh, berlima, kenalin, Atta, satu ini yang murni sealmamater denganku namun tertular jua virus kenakalan yang kami bawa.

“Vi, aku mandi dulu ya, daripada nunggu nganggur lama mending aku mandi sekalian.” Eka, seingatku. Tak lama kemudian payung-payung pelangi itu datang, Mbaknya semangat menanyaiku, “Dik, yang satu mana? Tadi bukannya ada lima?” “Masih mandi, Mbak, belum selesai,” jawabku. “Ya Allaahh….” Si Mbak mulai terlihat kecewa, wkwkw maaf.

Tanpa sengaja aku mendengar percakapan bebal yang dilontarkan panitia dari luar masjid, “Sumpah yaa itu, mereka yang dari tel*dan itu ngeselin banget, udah dibilang tunggu sebentar malah mandi coba.” “Siapa, sih siapa, sih? Yang semalem ngga mau keluar kamar tahajud itu ya?” “Oh iya tau, dari kemarin itu tuh, emang agak beda anak-anaknya.”

Batinku, WKWKWKW. Izin ketawa bentar, akhirnya kerasa.

Maaf ya, Mbak, Mas, sebenarnya kami juga sadar kalau kami salah. Tapi tapi tapi jangan bawa-bawa nama sekolah juga dong, kan jadi sedih akunya.

“Tau ngga, mereka tuh ternyata dari sekolah yang berbeda-beda lho, bahkan ada yang seangkatan sama kita, ilegal ngga sih jatuhnya,” Si Mbak masih kesal.

Aku memberanikan diri keluar dari dalam masjid, sengaja supaya mereka berhenti membicarakan kami terlalu jauh.

DEG. Fix, ini aku butuh boomerang buat naikin reputasi sekolahku. Sumpah sedih, juga was-was. Ntar kalau aku dapet surat peringatan atas perilaku tidak baik gimana? Jangan dong.

Dua jam berlalu sangat cepat. Eka sakit agaknya semakin parah, panasnya ngga mau turun. Hingga akhirnya diizinkan pulang duluan bersama Mbak Sina. Meski kami menyebalkan, harapan besar semoga panitia memaklumi situasi ini.

Pengumuman kejuaraan. Ada dua cabang lomba yang diangkat panitia, masing-masing kejuaraan terisi oleh kami berdua sebagai wakil resmi sekolah yang sama. Foto bersama di panggung. Berkemas. Bersiap pulang.

“Sumpah ya, Dik. Kalian tuh tadi jadi bahan omongan banyak panitia, burrruuukkk semua. Burrruuuk bangetttt dah. Tapi tadi pas tau pengumumannya, mereka pada heran dan ngga percaya gitu, katanya: ngeyel tur sembada! Emang tel*dan ngga ada tandingan. Selamat ya!” -Panitia, lupa namanya siapa, tapi kita pernah satu almamater.

Bukan tentang ambis menangnya, tapi Boomerang! Reputasi sekolah kembali naik, setidaknya tidak membuat citra buruk, Alhamdulillah. Utang nyawa lunas.

****

Throwback selesai!

Jalan Kaliurang kilometer 14,5. Aku pribadi minta maaf atas pihak-pihak yang dirugikan. Terima kasih sudah memberi buanyak sekali pelajaran dan cerita yang berharga.

Tinggalkan komentar