Aku membuka telepon genggamku. Pukul 10.00 pagi. Kuraih tote bag coklat berat berisi laptop dan beberapa buku yang kubiarkan tergeletak di sampingku. “Maaf, Pak. Lain kali kita sambung lagi ceritanya, saya sudah ditunggu teman saya di sana, saya duluan ya, Pak.” Aku berbicara dengan seorang laki-laki tua berambut putih yang berprofesi sebagai tukang bersih-bersih taman ibukota. Beliau terlihat lelah, matanya sayu, bibirnya kering pucat. Sesekali mengusap wajahnya yang menghitam kepanasan. Ah, lain waktu kuceritakan kisahnya. Aku yakin tiada satu pun manusia yang tak tersentuh mendengar hatinya berbicara.
Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, bertemu dengan laki-laki tampan dengan segala kharismanya. Usianya satu tahun di atasku. Hehe, aku menyukainya, sejak 5 tahun yang lalu. Lama bukan?
Matahari begitu terik, hanya berjalan menuju seberang saja keringatku terus-terusan menetes. Sebisa mungkin aku berusaha supaya bajuku tidak terlihat basah karena keringat.
Dugaanku memang tidak pernah meleset. Ia sudah duduk manis di meja dekat barista, menghadap jendela kaca yang besar, dan membelakangi sebagian besar penikmat kafe siang ini. Menggunakan kaos hitam rapi tertutup kemeja kotak-kotak berlengan pendek dan kancing yang dibiarkannya terbuka. Di depannya terlihat segelas matcha latte dingin yang ia sisakan setengah. Aku diam sejenak, mengatur napas, melangkah perlahan mendekatinya.
“Hai, assalamualaikum, Mas. Sudah lama menunggu? Maaf sedikit terlambat.” tanyaku sedikit basa-basi, selebihnya deg-deg an, hehe.
“Belum, sekitar sepuluh menit yang lalu. It’s OK tidak masalah. Lantas, kita mulai dari mana?” Ia menyimpulkan senyum tipis. Tampan. Kutatap lamat-lamat wajahnya sekali lagi. Tak henti-henti kuucap syukur karena berhasil melihat wajahnya dengan jelas. Tuhan, terima kasih, hari ini benar-benar ada.
“Mulai apanya? Eh,” Oh, tidak. Aku terlihat salting di depannya. TIdak tidak!
“Hahaha, kenapa? Grogi ketemu aku, ya?” Ia menyadari gerak-gerikku yang terlihat aneh.
“Hahaha paan, sih, yakali grogi kayak ketemu orang spesial aja. Yaudah, kita bahas konsep dasarnya dulu ya, Mas. Minggu depan mungkin baru bisa eksekusi sambil cari-cari fotrografer. Aku sudah bawa contoh bukunya. Aku juga sudah merangkum beberapa poin fantastik. Tapi sebelumnya, ada hal penting yang harus kuceritakan.” Aku berusaha menutupi tingkah anehku, mengalihkan pembicaraan sembari menunjuk laki-laki tua di seberang jalan yang kuajak ngobrol tadi.
“Coba lihat Pak Tua di seberang itu, aku baru saja mendengar seperempat lika-liku kisah hidupnya. Aku pikir, ini bisa jadi projek menarik.” Jeda sebentar. Mata kami saling bertemu. Oh, tidak. Tatapannya. Jantungku berdegup amat kencang. Mendadak aritimia, aku kesulitan mengatur irama nadiku. Aku kenapa?
“Apakah kita sedang dalam pikiran yang sama?” Ia memastikan kepadaku, sedangkan pipiku justru memerah dibuatnya.
“Aaa…. Emm, Ya! Tentu saja.” Aku masih saja bertingkah aneh. “Pinjam pena, Mas. Katakan, biar aku yang mencatat,” tambahku.
Matcha Latte. Adalah biang terbesar yang menyebabkan rasa ini ada. Sekitar satu tahun yang lalu, selepas salat dhuhur, aku duduk bersama Rara di depan mushalla lantai lima di salah satu hotel berbintang ibukota. Pintu lift terbuka. Laki-laki tampan itu berjalan ke arah kami. Kau tahu? Persis dengan saat ini, ia mengenakan kaos hitam dengan kemeja lengan pendek yang sama. Kedua tangannya tampak sibuk memegang dua gelas minuman.

“Ini matcha dingin buat kalian berdua. Ga sengaja lihat di resto bawah ada menu ini, yaudah,” katanya. Ya, aku sendiri tahu itu sebenarnya spesial untuk Rara seorang. Aku juga tahu ia mengagumi Rara sedari dulu. Hanya saja, karena aku dan Rara tak terpisahkan, mau ga mau ya aku dikasih juga, hehe.
Terhitung sejak saat itu, entah kenapa matcha menjadi minuman favoritku hingga saat ini. Serius, sampai saat ini. Aroma wangi yang khas dan rasanya yang manis selalu berhasil menggambarkan bagaimana perasaan ini meletup-letup tiap kali aku berjumpa dengannya. Eh, bukan berjumpa, maksudku melihatnya dari kejauhan. Dingin dan sedikit pahit sebagaimana perasaan yang sampai saat ini terpendam dalam diam terbalut angan, tiada berani untuk mengungkapkan, entah sampai kapan. Atau mungkin tidak sama sekali. Pun mengaguminya saja sudah membuatku bahagia.
****
Ahehehe. Terima kasih sudah membantuku berimajinasi. Soal di atas hanya cerita khayalan, belaka, dan bukan beneran, hehehe. By the way, Selamat ulang tahun diriku. Arvi, kamu hebat, menurutku, sih. Ulang tahun kali terlihat sedikit ini berbeda. Ucapan tidak seramai tahun-tahun sebelumnya.
Meski begitu, justru aku senang sekaligus kagum. Aku menemukan orang-orang yang kedekatan dan perhatiannya padaku melebihi segalanya.
Terima kasih untuk ucapan-ucapannya, semoga doa-doa baik yang kalian munajatkan terkabul dan kembali juga kebaikan untuk kalian. Aamiin ya rabbal ‘aalamiin.