Pengalaman Pertama Naik Pesawat Tidak Selalu Menyenangkan

Untuk orang yang jarang ke mana-mana sepertiku, naik pesawat merupakan hal yang tidak bisa disebut biasa aja, atau bahasa jujurnya naik pesawat adalah hal yang ditunggu-tunggu. Berdasarkan kisah dari novel-novel yang pernah kubaca, kesempatan naik pesawat itu datang ngga jauh-jauh dari kegiatan-kegiatan berikut: (1) mudik lebaran bagi keluarga perantau, (2) tugas orang dewasa yang sedang mengurus bisnis/kerjaan di luar kota, (3) orang-orang berduit banyak yang suka tamasya, dan (4) peserta lomba yang terfasilitasi naik pesawat gratisan. Sebagai anak yang lahir dari pasangan yang sama-sama Jogja tulen tujuh keturunan, kesempatan mudik bersama keluarga naik pesawat sudah pupus sejak zaman azali. Sedangkan untuk poin kedua dan ketiga untuk saat ini masih mengimani takdir Allah sembari menunggu tanggal mainnya, hehe. Satu-satunya kesempatan yang bisa kuraih sebagai anak berusia 12 tahun adalah menjadi peserta lomba yang menikmati terbang gratisan.

Tahun 2011, tepatnya bulan Juni, aku yang kala itu masih menanti-nanti hasil ujian nasional tingkat SD berkesempatan naik pesawat gratisan jalur spiritual. Alias lomba MTQ, tapi banyak menang lewat jalur do’a, haha. Itung-itung sebagai hadiah sudah berjuang menyeimbangkan padatnya akademik di sekolah dan sibuknya latihan ngaji, begitu kata ibuku. Cieeelaaahhh akademik, SD doang berat banget bawa-bawa kata akademik…. 😀

Pengalaman pertama naik pesawat tidak selalu menyenangkan, Guys. Aku senyum-senyum kecil semi kecut mengingatnya. Secara pengalaman dan postur tubuh, aku menjadi peserta terkecil dengan 0/1 juta pengalaman, pergi bersama rombongan tapi tanpa orang tua. Perkenalkan, namanya Qurroh. Aku memanggilnya Mbak Qurroh lantaran ia lahir tiga bulan lebih awal dibanding aku. Ya, hanya selisih tiga bulan, namun dari segi kedewasaan ia jauh seribu kali lipat lebih “dewa” daripada aku. Aku banyak bersamanya, terlebih dalam hal terbang-terbangan ini.

Kisah ini dimulai, diawali dengan tertinggalnya jaket yang baru dibeli dua hari sebelumnya agaknya sudah menjadi tanda kecil awal kekonyolan pada hari itu. Seperti perpisahan pada umumnya, anak selalu diberi sarapan nasehat dan pesan-pesan oleh orang tuanya yang tak cukup dibilang singkat. Banyak-banyak berdo’a lah, jangan praktik gerakan separatisme dari rombongan lah, jangan nakal kalau diatur pendamping lah, sampai mengulang-ulang dimana letak uang dalam koper yang mereka siapkan untukku.

Pukul 12.00 WIB kami berangkat menuju Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Tujuan penerbangan kali ini adalah Kalimantan Selatan, tepatnya Kota Banjarmasin dengan satu kali transit di Jakarta. Garuda Indonesia menjadi pesawat pertama yang aku tunggangi. Sesi pertama setiba di bandara adalah pemeriksaan koper, tas, ponsel, dan lain-lain oleh petugas. Karena tidak mau jadi orang terakhir, aku bergegas maju, menorobos barisan, dan buru-buru meletakkan koper di tempat pemeriksaan. Selnajutnya pemeriksaan metal detector, petugas bandara memintaku menyiapkan ponsel, melepas ikat pinggang, dan menaruh tas kecilku di atas nampan yang berjalan.

Panik, panik, makin panik. Ponsel genggamku tidak ada di tasku. Kucek sekali lagi, tetap tidak ada. Aku panik sendiri. Beberapa orang basa-basi menanyaiku, “Kenapa?” Begitu katanya tanpa membantuku mencari. Saking paniknya mencari, aku sudah berada di barisan paling akhir, semua rombonganku sudah jauh di depan menyisakan aku dan Mba Qurroh saja. Satu-satunya orang yang paling berjasa saat itu hanya Mbak Qurroh seorang. Ntah di mana official-ku kenapa ia tidak peduli denganku. Atau mungkin karena tubuhku terlalu kecil sehingga tak terdeteksi oleh lapang pandang mereka.

Sambil merengek layaknya anak kelas 6 SD, aku berhenti mencari namun terus-terusan mengeluh ponselku hilang. Sambil menangis, “Huaa… HP-ku di dompet, kalau dompetnya hilang aku ngga bawa duit sama sekali Mbak, huhuhuaaa…” Merengek saja ternyata tidak cukup. Kunaikkan style tangisanku, kali ini level teriak-teriak persis anak kecil yang kehilangan barang kesayangannya. Sementara itu, Mba Qurroh dan petugas bandara yang menaruh iba padaku masih sibuk membongkar koperku. Nihil. Tidak Ada.

Ikhtiar terakhir yang bisa kami lakukan adalah menelponnya. Seharusnya ponselku berdering, jadi bila ditelpon ternyata tidak berbunyi artinya kami harus berbelok arah menerapkan sikap yang lain, sebutlah tawakkal a.k.a pasrah. Aku terus menangis tanpa ada niatan mengecilkan volume tangisanku, sementara belasan panggilan dari ponsel Mbak Qurroh tidak juga memunculkan dering nyaring dari ponselku. Lima belas menit kami habiskan untuk mengulik keberadaan ponselku.

Kami kehilangan harapan. “Belum ketemu, Dik?” Tanya petugas bandara kepadaku. Belum sempat kujawab, pertanyaan berikutnya sudah cepat ia lontarkan, “Di saku tidak ada? Coba dicek dulu.”

Seketika semua mata tertuju padaku, aku menjadi pusat perhatian. Mbak Qurroh dan beberapa petugas bandara melihatku dengan seksama. Tanganku yang rasanya sudah mau pingsan kehilangan semangat mencoba merogoh dua saku bajuku. Tangan kiri nihil, tangan kanan, tunggu sebentar. Seperti ada yang berbeda. Aku merasakan motifnya, terbanyang coraknya, terngiang warnanya. OMG I FOUND MY PHONE!! LAH KOK BISA? Aku menemukan dompetku, aku menemukan ponselku! Glandula lacrimalis-ku secara tiba-tiba berhenti memproduksi air mata persis ketika senyum nyengir tersimpul di kedua sudut bibirku. HEHEHE, kataku dengan santai sambil melirik kanan kiri seolah tidak terjadi apa-apa. Aku menahan rasa malu, xixixi.

“Wuuu keseron le nangis, Nduk, dadi ra krungu to HP ne muni. Hahaha.” Celoteh bapak-bapak petugas bandara.

Kehilangan ponsel yang ternyata di saku sendiri dirasa masih kurang mewarnai pengalaman pertamaku naik pesawat. Oke tambah lagi. Perjalanan selanjutnya, aku berada di barisan terbelakang dari rombongan ketika transit di Jakarta. Saat itu, official membagikan kertas yang aku sendiri tidak tahu itu kertas apa. Mungkinkah boarding pass?  Kayaknya iya, deh. Agak lupa, tapi seingatku dulu kami antre buat nunjukin berkas lalala (lupa). Mbak petugas bandara meminta kertas tadi, aku berikan, ia kembalikan lagi kepadaku. Ntah karena mejanya yang terlalu tinggi atau aku yang terlalu mini, percakapan diantara kami terpantau kurang yoi. Aku bergegas meninggalkannya.

Selang sekian menit, official-ku memberi tahu agar menyiapkan boarding pass sekarang. Aku mulai kebingungan. Kertas apa yang dimaksud? Kok aku tidak merasa diberi? Suasana tegang, panik ajib mulai tercipta.

“Mana Arvi kertasnya tadi? Kalau hilang ngga bisa berangkat sendiri lho kamu.” Kalimat ini terdengar menakutkan. Bandara lengang. Kugerakkan bola mataku ke samping kanan atas agar tepat berkontak pandang dengan mata Mbak Qurroh, seraya memohon pertolongan tanpa mengatakannya.

Ini foto bersama Mbak Qurroh saat akan melakukan perjalanan pulang dari Banjarmasin menuju Yogyakarta menggunakan pesawat Lion Air pada bulan Juni tahun 2011.

“Kamu ngga punya ini? Yang kertas putih ada tulisan kursinya.” Mbak Qurroh memastikan ulang dengan nada yang lebih ramah anak sambil menunjukkan kertas putih itu. Jawabanku tetap sama, aku tidak sedang memegangnya.

“Mmm… Tadi aku tinggal di sana, Mbak. Aku ngga tau kalau harus dibawa lagi.” Tanganku gemetar menunjuk Mbak petugas bandara tadi.

“Lah kok ditinggal, kalau ngga ada tamat lho ini.” Official-ku menambahkan. Kurasa orang ini kurang belajar empati terhadap anak-anak.

Lagi-lagi posisiku semakin terbelakang dibanding rombongan. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Kalau saja VAS score berlaku, tingkat kepanikanku sudah setara dengan rasa nyeri nomor 10. Luar biasa panik. Panggilan bandara untuk segera memasuki pesawat sudah terdengar dua kali. Aku sudah pasrah kalau memang harus ditinggal sendirian di bandara ibukota. Mungkin bila aku beruntung, pasti ada orang yang bersimpati padaku dan mengangkatku menjadi anaknya. Ini adalah pikiran terjauhku dulu, wkwk.

Berapa saat kemudian, official-ku datang sambil mengibaskan boarding pass ke arah jidat kecilku, “Niiih, dah sana masuk, untung ngga jadi ditinggal kan wkwkw.” Aku puas mendengarnya meski was-was masih tersisa.

Akhirnya aku beneran sampai di sini, Guys, setelah melewati pengalaman tidak menyenangkan. Masih ngantuk ini ceritanya.

Perkara-perkara tadi cukup membuatku trauma hingga ke penerbangan-penerbangan selanjutnya. Takut suasana bandara. Takut kebisingannya. Perasaan seolah selalu was-was dan panik terus saja membuntutiku. Suara mirip airport announcement juga masih terbayang-bayang menghantuiku. Seusai kejadian itu, setiap mendengar suara pengumuman di stasiun, mall, bahkan Pasar Beringharjo selalu berhasil membuat wajahku pucat pasi. Pengalaman pertama naik pesawat boleh jadi berkesan, namun bisa disebut tidak menyenangkan.

Foto ini diambil menggunakan kamera HP Nokia C2 yang kece pada jamannya. Pasar Apung di Kalimantan Selatan di pagi hari yang cukup ramai.

—-Selesai—-

Oiya, btw, itu pertemuan terakhirku dengan Mbak Qurroh. Sampai detik ini kami kehilangan kontak. Aku tidak punya nomor whatsapp dan tidak pula menemukan satu medsos-nya. Senang sekali bila suatu saat tulisan ini bertemu dengan tokohnya :))

Fatwa Arvi Utami

Wirobrajan, Yogyakarta.

2 pemikiran pada “Pengalaman Pertama Naik Pesawat Tidak Selalu Menyenangkan”

Tinggalkan komentar