Urusanku Sama Instagram Cukup Sampai Di Sini

Gambar ini menjelaskan bahwa Fatwa Arvi Utami memiliki kehidupan yang luar biasa enak. Aku: “Dari mananya?”

Aku kaget sampai ada yang bilang, “Vi, kuperhatiin hidupmu enak yaa. Temenmu banyak, penuh aktivitas, mana kuliahmu juga keren, intinya hidupmu tuh enak.” Sumpah tenggorokanku tergelitik. Dari mana kamu menyimpulkan itu? “Story instagrammu.”

Sahabat, terima kasih sudah sudi memperhatikanku jauh, bahkan lebih jauh daripada kamu mengenali sisi hebat dirimu sendiri. Sejujurnya, (ini beneran jujur) justru aku yang kagum padamu, kamu cantik, kamu fashionable, mau pake baju apapun, warna apa pun, semua terlihat pas di kamu. Kamu tuh, ya, cantik luar dalam, kurang apa coba?

By the way, tapi sebenarnya kita sama lho. Kita terlalu cepat menyimpulkan story dan postingan Instagram seseorang. Aku juga (dulu pernah sering) beranggapan bahwa dia segalanya. Dia enak bisa jalan-jalan ke luar negeri tiap libur semester, dia sering nongkrong di kafe tanpa kehabisan uang, dia sering menang lomba, dia jago masak sejago-jagonya, dia bisa ikut aksi sosial berkali-kali, dia sering jadi pembicara di mana-mana, dia, dia, dia. Seolah semua kehebatan hanya berpihak pada orang lain, sedangkan aku…

Hush, udah berhenti, ah!

Kalau kayak gini terus ngga bakal ada habisnya. Yang ada justru kita yang terus-terusan over minder, ngerasa yang paling buruk, paling bawah, dan ngga ada artinya. Toh nyatanya, tanpa kita sadari, ada yang beranggapan kalau hidup kita jauh lebih enak.

Yap, benar sekali. Apa yang kita simpulkan dari Instagram seseorang tidak lain hanya sebagian kecil dari cerita hidupnya. Bukan semuanya. Iceberg phenomenon, pasti pernah dengar, kan? Puncak gunung es yang terlihat hanyalah sebagian kecil bila dibandingkan dengan bongkahan es yang tersembunyi di bawahnya. Kamu tidak tahu seberapa besar bongkahan es milikku, pun aku tidak tahu seberapa besar bongkahan es milikmu. Maka rasanya kurang adil jika masih menjadikan puncak gunung es sebagai ajang menilai orang lain, atau tolak ukur kebahagiaan orang lain, apalagi membandingkan satu sama lain.

Nasihat untukku, dan juga untukmu, Sahabatku. Cintai dirimu. Ada banyak hal yang bisa kamu banggakan atas dirimu sendiri. Tidak melulu tentang prestasi, tidak melulu tentang pencapaian. Lagipula ini hanya urusan dunia bukan? Lantas, mengapa terus-terusan kaupikirkan?

Ingat satu hal, cukup jangan berhenti bilang Alhamdulillah, what Allah bless to me, lalu baca judul di atas. 🙂

Kulonprogo, 24 Agustus 2020

Tinggalkan komentar